Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are
Islamic Countries” menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang
paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua.
Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.
Adalah Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari
The George Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya
dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010).
Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi
perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?
Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud
diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama,
ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama
manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta
kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat,
hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan
hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.
Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan
untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari
sebanyak 208 negara yang disurvei.
Dari 56 negara anggota OKI, yang memperoleh nilai
tertinggi adalah Malaysia (urutan ke-38), Kuwait (48), Uni Emirat Arab (66),
Maroko (119), Arab Saudi (131), Indonesia (140), Pakistam (147), dan terburuk
adalah Somalia (206). Negara barat yang dinilai mendekati nilai-nilai Islam
adalah Kanada di urutan ke-7, Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Setikat
(25).
Sedikit bocoran, peringkat 10 besar dari penelitian
tersebut adalah negara-negara yang bahkan bisa disebut adalah negara sekuler.
Diantaranya secara berurutan adalah Selandia Baru, Luksemburg, Irlandia,
Islandia, Finlandia, Denmark, Kanada, Britania Raya, Australia, dan Belanda.
Fakta ini adalah sebuah tamparan keras bagi umat Islam di seluruh penjuru
dunia. Umat Islam yang seharusnya menjadi individu dengan akhlak dan budi
pekerti mulia malah menyimpang dari cita-cita luhur pembawa agamanya, yaitu
Nabi Muhammad Saw.
Sungguh mencabik hati ketika membaca artikel-artikel
tentang kehidupan masyarakat dalam negara yang mayoritas berpenduduk Islam ini.
Potret memilukan yang terjadi pada umat Islam saat ini sungguh jauh dari
cita-cita mulia Nabi Besar Muhammad Saw yang memimpikan umatnya menjadi
individu yang memiliki akhlak dan budi pekerti mulia, karena seperti yang telah
diketahui bahwa salah satu tujuan pengutusan Nabi Muhammad Saw selain membawa
berita gembira adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia yang tertera pada
beberapa firmanNya dalam kitab suci Al-Qur’an.
Dapat dilihat dari kelima aspek indicator tersebut,
inti dari indicator tersebut adalah kemanusiaan. Bagaimana mungkin agama Islam
yang ajarannya sangat humanis malah tidak menampakkan wajahnya dengan baik
dalam negara yang mayoritas umat Islam. Arab Saudi yang menjadi tempat lahirnya
Nabi Muhammad Saw dan seharusnya menjadi kiblat bagi umat Islam hanya mampu
bercokol di peringkat ke-131, sedangkan Indonesia yang menjadi negara dengan
umat Islam terbanyak di dunia malah menempati posisi ke-140. Benar-benar data
statistic yang memalukan, meskipun penelitian tersebut pastinya tidak tepat
100%, tapi saya rasa data tersebut dapat menjadi acuan melihat kondisi negara
Islam yang tidak habis-habisnya menjadi lahan konflik seperti perang saudara
Sunni – Syiah.
Saya berpikir bahwa konflik adalah suatu jembatan
menuju kedewasaan. Ya, negara-negara Islam masih seperti anak kecil yang tidak
henti-hentinya berkelahi. Dapat dilihat negara-negara Eropa yang telah
mengalami konflik keagamaan sejak abad 17 silam, perang Sunni – Syiah di negara
Islam saat ini mungkin mirip dengan perang Katolik – Protestan di Eropa pada
abad 17 silam. Setelah melewati berbagai konflik internal yang juga adalah
jembatan menuju kedewasaan, saat ini negara-negara Eropa menjadi lebih dewasa
dan maju.
Negara-negara yang sudah mencapai usia matang atau dewasa
dapat dilihat dari berbagai sisi, contohnya kestabilan politik, kemajuan
ekonomi, kemajuan sains dan teknologi, kemandirian budaya, serta penegakan
hukum dan lain-lain. Peradaban Islam pernah merasakan era keemasannya sekitar
abad ke-8 hingga abad ke-12 dan sisa-sisa era keemasannya masih dapat dirasakan
hingga abad ke-17 sebelum kolonialisme Eropa masuk untuk menjajah wilayah
peradaban Islam. Perlu diketahui bahwa saat itu masih belum berdiri
negara-negara Islam, karena semua wilayah Islam hanya dipimpin oleh satu
pemerintahan.
Pada era keemasannya, peradaban Islam menghasilkan
banyak sekali kontribusi-kontribusi yang berpengaruh bagi dunia yang dilahirkan
oleh para filosof dan ilmuwan dari berbagai bidang. Era keemasan itu dibidani
oleh seorang khilafah dinasti Abbasiyah ke-5 yang bernama Harun al-Rasyid,
beliau adalah seorang pemimpin yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Beliau
memberikan upah berupa emas pada penerjemah yang berhasil menerjemahkan
buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan yang berbahasa Yunani ke Bahasa Arab.
Pada saat itu, buku-buku dari Yunani masih menjadi rujukan utama ilmu
pengetahuan, bahkan hingga saat ini pemikiran-pemikiran Yunani masih menjadi
dasar bagi alam pikiran dunia. Berat emas yang diberikan Harun al-Rasyid sama dengan
berat buku yang berhasil diterjemahkan oleh seorang penerjemah. Betapa beliau
mencintai dan memahami pentingnya ilmu pengetahuan sehingga memberikan emas
dengan berat yang sama dengan buku.
Berkat buku-buku dari Yunani tersebutlah peradaban
Islam menjadi sangat maju. Tercatat filosof terkemuka pertama dari peradaban
Islam adalah Al-Kindi yang mendapat julukan “Filosof Arab” karena ketinggian
ilmunya. Setelah itu muncul Al-Farabi atau dalam dunia barat lebih dikenal
dengan nama Alpharabius yang diberi julukan “Guru Kedua” karena pemahamannya
atas filsafat Aristoteles (Guru Pertama) yang saat itu masih sangat sulit untuk
dimengerti. Ada lagi Ibnu Sina atau lebih dikenal dengan nama Avicenna yang
hingga kini diakui sebagai “Bapak Kedokteran Dunia” setelah pemikir Yunani,
Hippokrates. Masih sangat banyak ilmuwan-ilmuwan Islam yang lahir di era ini
seperti Al-Ghazali yang disebut sebagai orang terpenting kedua dalam dunia
Islam setelah Nabi Muhammad Saw, bahkan karyanya “Ihya Ulumuddin” dianggap
cukup menjadi sebuah pedoman umat Islam jika semua kitab-kitab Islam hilang
dari dunia, sungguh luar biasa Al-Ghazali ini.
Tak akan ada habisnya jika membicarakan
ilmuwan-ilmuwan atau filosof yang lahir pada era keemasan peradaban Islam
tersebut karena begitu banyaknya. Jelas tak dapat dipungkiri bahwa kebangkitan
Eropa dari era kegelapannya itu berkat peradaban Islam saat itu. Ibn Rusyd,
Filosof asal Andalusia atau yang lebih dikenal sebagai Averroes cukup tersohor
di dunia barat saat itu. Pemikiran-pemikiran Ibn Rusyd berpengaruh cukup luas
hingga ke pemikir Kristen dan Yahudi seperti Thomas Aquinas dan Moses
Maimonides. Revolusi pemikiran Eropa dipercaya dimulai dari pemikiran-pemikiran
Rene Descartes (meskipun sudah banyak pemikir-pemikir brillian sebelum
Descartes) yang sangat dipengaruhi oleh filosof-filosof Muslim. Tidak sulit
untuk mencari jejak-jejak pemikiran Al-Ghazali dalam skeptisisme yang
dikembangkan oleh Rene Descartes. Konon, cukup banyak karya-karya Al-Ghazali
yang ditemukan dalam perpustakaan pribadi Rene Descartes.
Selain ilmu pengetahuan yang dikembangkan secara
pesat, ada hal lain yang menyebabkan kemajuan peradaban yaitu gaya berpikir.
Sejarah mencatat awal keruntuhan peradaban Islam dikarenakan pintu “ijtihad”
yang ditutup. Ijtihad adalah usaha atau penggalian pikiran sungguh-sungguh yang
dilakukan para ahli agama untuk mencapai suatu putusan. Meskipun masih dekat
dengan era awal kemunculan Islam, tapi jelas khazanah keislaman belum cukup
luas saat itu, karena itu para ahli agama dan para pemikir melakukan ijtihad
untuk menjawab persoalan-persoalan masyarakat dengan menjadikan Al-Qur’an dan
hadits-hadits sebagai dasar.
Alhasil pada saat itu banyak sekali aliran-aliran yang
berkembang karena ijtihad para ahli agama. Ijtihad-ijtihad tersebut membuat
agama serasa hidup karena selalu ada pembaruan untuk menjawab masalah-masalah
yang juga baru. Sangat disayangkan setelah khazanah ilmu agama semakin meluas
dan para ahli agama merasa pengetahuan-pengetahuan tersebut sudah cukup dan
menutup pintu ijtihad. Setelah pintu ijtihad ditutup, lahirlah sikap taklid.
Sikap taklid inilah yang membuat peradaban tidak lagi maju karena selalu
mengacu pada masa lalu dan tidak berorientasi pada masa depan.
Sikap taklid ini masih terasa hingga saat ini, banyak
umat Islam yang tidak mau terbuka terhadap perubahan padahal zaman selalu
berubah. Seharusnya pemahaman akan agama ini juga dinamis beriringan dengan
semangat zaman atau zeitgeist. Zeitgeist ini selalu bergerak dan cenderung
progresif meskipun kadang juga mundur. Peradaban yang tidak mengikuti zeitgeist
selalu tertinggal termasuk juga peradaban Islam yang tenggelam dalam sikap taklid
buta.
Nampaknya cukup sudah kita berpetualang dalam sejarah
era keemasan peradaban Islam, saatnya kembali ke topik mengapa negara-negara
Islam saat ini tidak dapat mencapai prestasi yang sama pada era keemasannya
itu? Banyak orang yang berpendapat hal tersebut dikarenakan umat Islam saat ini
jauh dari nilai-nilai yang terkandung dalam kitab sucinya, Al-Qur’an. Hemat
saya, pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah karena saya meyakini bahwa
Al-Qur’an adalah kitab yang sangat sempurna, tapi tentu perlu dimengerti bahwa
tidak semua masalah dapat diselesaikan dengan Al-Qur’an. Sebagai contoh, tidak
ada panduan untuk membuat sebuah teknologi baru dalam mobil, handphone, atau
alat elektronik lainnya. Hal-hal seperti itu tentunya harus mengandalkan akal
manusia yang juga merupakan instrument untuk menyelesaikan masalah yang
diberikan Tuhan pada manusia.
Saya berpikir bahwa dasar moralitas bukan hanya kitab
suci, karena Al-Qur’an sendiri lahir pada awal abad ke-7 sedangkan manusia
sudah hidup jauh sebelum itu. Penelitian terakhir menyatakan bahwa manusia
hidup sejak kurang lebih 500.000 tahun yang lalu (Wallahu A’lam). Dari 500.000
ribu tahun yang lalu hingga munculnya Al-Qur’an, tidak mungkin jika manusia
tidak memiliki moralitas. Moralitas adalah dasar kemanusiaan, sehingga lebih
tepat krisis moral saat ini dikarenakan manusia yang semakin jauh dari dasar
kemanusiaannya atau fitrahnya. Tentang dasar moralitas selain kitab suci ini
mungkin akan saya tuliskan di waktu yang lain (jika Tuhan memberi kesempatan
dan memberi umur panjang).
Tapi terlepas dari dasar moralitas tersebut, kitab
suci khususnya Al-Qur’an banyak memberikan petunjuk untuk dasar moralitas. Ya,
kitab suci adalah sebuah pedoman yang sangat jelas bagi umat manusia untuk
menjalankan hidup yang berkualitas atau lebih khususnya bermoral. Dalam ajaran
yang dibawa Nabi Muhammad Saw ini mengajarkan bahwa agama khususnya Islam tidak
bertentangan dengan fitrah manusia yang termasuk moralitas di dalamnya, karena
jelas moralitas manusia itu sesuai dengan fitrah manusia sebagai ciptaanNya
yang paling sempurna.
Patut disayangkan, saat ini banyak orang Islam yang
membaca Al-Qur’an tapi tidak memahami maknanya. Akibatnya orang-orang hanya
beragama pada permukaannya saja. Orientasi kebendaan yang merebak luas saat ini
juga tambah memperkuat orang-orang untuk beragama pada permukaannya atau pada
yang tampak saja. Tidak sedikit orang-orang yang menjalankan syariat Islam tapi
tidak memiliki akhlak yang mulia, padahal seharusnya hal tersebut berbanding
lurus! Ya, lagi-lagi ini dikarenakan hanya beragama pada permukaan saja.
Contohnya di Indonesia ini, rasanya sulit untuk mencari koruptor yang belum
melaksanakan ibadah haji. Cukup memilukan memang.
Baru-baru ini juga meruak di sosial media seorang
Ustadz yang berpenampilan ala Timur Tengah yang menginjak kepala seorang
panitia acara. Belum lagi, ormas-ormas Islam yang berpenampilan ala Timur
Tengah dengan membawa pentungan membubarkan paksa diskusi-diskusi ilmiah dan
tempat-tempat yang dianggap menjadi sarang maksiat. Orang-orang seperti ini
merasa dengan berpenampilan islami, secara otomatis dirinya adalah orang yang
benar-benar Islam. Padahal seharusnya Islam itu ada di dalam hati dan
ditunjukkan dengan akhlak mulia, bukan dengan perbuatan-perbuatan kasar seperti
yang banyak dilakukan orang Islam di negara ini.
Masih banyak lagi contoh-contoh akibat beragama hanya
sebatas pada permukaan saja. Sekarang tidak sulit menemukan orang-orang yang
berpenampilan Arab, memiliki dahi hitam (katanya karena sering sujud), celana
cingkrang, dan lain sebagainya. Orang-orang seperti ini hanya mementingkan
aspek jasmaniah agama atau hanya pada apa yang tampak saja. Belum lagi orang
berlomba-lomba membangun masjid seindah mungkin padahal masih banyak orang
Islam yang belum mengecap pendidikan memadai karena ketidakcukupan biaya. Musuh
utama agama Islam adalah kebodohan, karena kebodohan ini melahirkan segala
macam keburukan termasuk kemiskinan yang wajib diberantas olehumat Islam. Miris
memang, tapi itulah faktanya umat Islam khususnya di Indonesia saat ini.
Indonesia ini cukup memilukan, ketika ada orang yang
sedikit pandai berorasi tentang Islam langsung dipanggil ustadz. Akibatnya,
banyak ustadz-ustadz yang muncul di layar kaca belum teruji akhlak dan
keislamannya yang tidak tampak dipermukaan. Orang Indonesia hanya senang pada
apa yang tampak dan instan saja. Baru-baru ini adalagi pemerintah daerah yang
menghadiahkan mobil pada rakyatnya yang rajin sembahyang. Ah, saya pikir
hadiah-hadiah semacam ini hanya untuk anak kecil agar rajin sembahyang karena
tidak layak bagi orang dewasa beribadah hanya untuk mendapatkan hadiah. Niat
ibadah itu jelas, Lillahi Ta’Ala! Karena Allah semata! Dengan diiming-imingi
hadiah seperti itu, orang akan beribadah dengan niat mendapatkan hadiah, bukan
untuk Allah.
Orang yang mengincar hadiah mobil itu adalah
orang-orang dengan ekonomi menengah kebawah. Asumsi saya menyatakan ketika
mendapatkan mobil karena sering sembahyang, mobil itu akan dijual guna
mendapatkan uang dengan instan. Ya, uang sudah mulai menggantikan peran Tuhan.
Bahkan niat ibadahpun sudah mulai untuk mendapatkan uang, bukan lagi
mendapatkan ridho Allah. Pelan tapi pasti, disadari atau tidak, uang mulai
menggerogoti nilai ketuhanan kita. Manusia berjuang mati-matian untuk
mendapatkan uang, uang dijadikan tujuan hidup. Padahal seharusnya manusia hidup
hanya untuk Tuhan dan hanya Tuhanlah yang pantas dijadikan tujuan.
Hal ini terjadi karena banyak orang Islam yang tidak
memahami makna kitab suci. Orang-orang hanya beragama pada permukaan, akibatnya
manusia hanya menjadi budak kehidupan. Bahkan selain uang, banyak juga orang
yang menuhankan agamanya. Padahal agama adalah sebuah pedoman kehidupan dari
Tuhan, tapi orang-orang menjadikannya sebuah kesakralan yang tidak dapat dicela
seperti Tuhan. Akibatnya, banyak orang yang tidak bisa menerima perbedaan
tafsir dari apa yang dianutnya. Dengan sifat tidak dapat menerima perbedaan
itulah lahir konflik yang saat ini sedang marak di negara-negara Islam. Saya
pribadi tidak mengerti apa yang diributkan kaum agama tersebut ketika kita
memiliki satu Tuhan, satu kitab suci, dan satu junjungan besar yaitu Nabi
Muhammad Saw? Perbedaan adalah suatu kepastian. Anak yang lahir dari ayah dan
rahim yang sama saja pasti memiliki perbedaan, bahkan anak dengan kembar
identik pun memiliki perbedaan. Mengapa orang-orang tidak dapat menerima
perbedaan? Ini sungguh tidak masuk akal.
Untuk menghindari krisis moral yang saat ini sedang
melanda umat Islam, perlu adanya pemahaman akan makna kitab suci dan kesadaran
akan pentingnya ilmu pengetahuan. Mayoritas Islam yang ekstrem menolak ilmu
pengetahuan berasal dari negara barat yang dianggapnya negara kafir, padahal
kalau tidak salah ada sebuah hadits yang menyatakan “Hikmah laksana hak milik
seorang mukmin yang hilang. Di manapun ia menjumpainya, di sana ia berhak
mengambilnya” (HR. Al-Askari dari Anas ra). Ilmu pengetahuan merupakan hikmah,
karena itu darimanapun asalnya semua manusia di muka bumi berhak menikmatinya
tidak terbatas pada agama tertentu saja.
Kebanyakan orang Islam ekstrem ini hanya mempelajari
hukum-hukum Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an dan menampikkan pesan-pesan
mulia lain yang terkandung di dalamnya. Bagaimana mungkin kita memprioritaskan
hukum-hukum syariat yang tertuang dalam Al-Qur’an yang kurang lebih persentasenya
hanya 3,5% dan menampikkan sebagian besar ajaran Al-Qur’an tentang keluhuran
akhlak, moralitas, budi pekerti, ilmu pengetahuan, dan sejarah? ini juga tidak
masuk akal.
Sejarah, sebagai laboratorium sosial juga sangat amat
penting dipelajari guna mencegah terjadinya penyimpangan. Mayoritas umat Islam
yang beragama pada permukaan pasti tidak memahami sejarah peradaban Islam
sehingga begitu mudah melakukan kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi dalam
sejarah. Saya sangat senang mengutip perkataan filosof Jerman, Johann Wolfgang
von Goethe “Manusia yang tidak dapat mengambil pelajaran dari 3000 tahun yang
lalu adalah manusia yang tidak menggunakan akalnya”. Ya, karena itulah sejarah
juga merupakan aspek terpenting untuk menjauhkan manusia dari krisis moral.
Marilah kita lebih memahami pesan-pesan agama secara
keseluruhan agar menjadi umat beragama yang baik, marilah kita bersatu menjadi
sebuah umat Islam yang kuat tanpa pecah belah yang diakibatkan oleh konflik
keagamaan yang jelas tidak ada gunanya selain kerugian. Mari kita belajar
memahami perbedaan yang tidak mungkin dapat dihilangkan dari muka bumi ini.
Dengan begitu, umat Islam akan mampu bersaing dengan negara-negara barat.
Janganlah terus tenggelam dengan kejayaan peradaban Islam masa lalu seperti yang
banyak dilakukan umat Islam dewasa ini. Kita harus menatap kedepan,
menyampingkan ego untuk belajar dari barat yang perlu diakui saat ini jauh
lebih maju dari negara-negara Islam.
Saya menyadari tulisan ini masih sangat jauh dari
sempurna karena redaksi, ketidaktepatan topic, dan pembahasannya yang meluas
kemana-mana, tapi bagaimanapun saya merasa penting untuk menuliskan kegelisahan
yang sedang berputar di dalam kepala. Dengan ketidaksempurnaan ini, saya
berharap tulisan ini dapat sekedar menambah pengetahuan dan kesadaran
orang-orang khususnya orang Islam di Indonesia. Mohon pembaca memaklumi tulisan
jelek ini dan rasa terimakasih saya hanturkan bagi pembaca yang cukup sabar
membaca tulisan jelek ini. Wallahu A’lam.